Misteri Nama Surabaya: Dari Hujunggaluh hingga Curabhaya.
Kota Surabaya, yang kini dikenal sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, memiliki sejarah panjang yang penuh teka-teki. Meski belum ditemukan literatur sejarah yang pasti, nama Surabaya dahulu dikenal dengan nama Hujunggaluh atau Ujunggaluh. Namun, kapan tepatnya nama Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya masih menjadi misteri.
Hujunggaluh pada Masa Majapahit.
Hujunggaluh merupakan nama pelabuhan penting pada masa Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 Masehi. Pada masa itu, Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit yang juga dikenal sebagai Kertarajasa Jaya Wardhana, berhasil mengusir tentara Tar Tar dari pelabuhan tersebut. Pelabuhan ini menjadi saksi bisu dari keberhasilan Raden Wijaya mengamankan wilayahnya dari serangan asing.
Namun, seiring berjalannya waktu, terutama pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, nama Hujunggaluh mulai menghilang dan berganti nama menjadi Curabhaya. Transformasi nama ini tercatat dalam prasasti Trowulan I yang berangka tahun 1280 Saka atau 1358 Masehi.
Prasasti Trowulan I dan Kitab Negara Kretagama.
Yousri Raja Agam, penulis buku "Sejarah Kota Surabaya," mengungkapkan bahwa Raja Hayam Wuruk sering singgah di Curabhaya. Hal ini juga didukung oleh Kitab Negara Kretagama karya Empu Prapanca, yang menyebutkan perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Jenggala, yang saat ini dikenal sebagai Sidoarjo. Dalam kitab tersebut, disebutkan bahwa Hayam Wuruk sering berkunjung ke Curabhaya sebelum melanjutkan perjalanannya ke Buwun, yang kini diduga sebagai Bawean.
Dalam pupuh XVII bait ke-5 Kitab Negara Kretagama, tertulis:.
“Yen ring Janggala Lok Sabha n rpati ring Curabhaya terus ke Buwun,”
yang artinya, "Jika di Jenggala di laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun yang saat ini Bawean."
atau lengkapnya dalam bahasa Indonesia, adalah:
Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai, Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan Lingga hingga desa Bangin, Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun.
Pertempuran Raden Wijaya dan Tentara Tar Tar.
Dalam beberapa catatan sejarah perjalanan Prabu Hayam Wuruk, nama Hujunggaluh tidak pernah disebutkan lagi. Justru nama Curabhaya atau Surabaya yang sering muncul. Nama Curabhaya juga tercantum dalam prasasti Trowulan I, yang mencatat bahwa Surabaya sudah ada sejak zaman dulu, masih berupa desa di tepi Sungai Brantas.
Dikisahkan bahwa pertempuran antara Raden Wijaya melawan pasukan Tar Tar dari Dinasti Mongol terjadi di sepanjang aliran sungai hingga muara Sungai Kalimas, yang kini dikenal sebagai Tanjung Perak atau Ujunggaluh. Menurut kitab Pararaton, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese diusir dari Pulau Jawa, dengan pertempuran terakhir terjadi di Pelabuhan Ujunggaluh, di mana pasukan Raden Wijaya meraih kemenangan.
Penipuan Cerdik Raden Wijaya.
Dalam cerita lain dari Kitab Negara Kretagama, Raden Wijaya dengan cerdik meminta izin kepada Ike Mese untuk kembali ke Majapahit guna menyiapkan upeti bagi Kaisar Kubilai Khan, sebagai wujud penyerahan dirinya. Ike Mese, tanpa curiga, mengizinkannya. Namun, dalam perjalanan kembali, Raden Wijaya dan pasukannya menghabisi para perwira dan pengawal Mongol yang menyertainya, kemudian menyerbu pasukan Mongol yang tersisa di Daha.
Kesimpulan
Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya masih menyimpan misteri. Namun, berbagai sumber sejarah, seperti prasasti Trowulan I dan Kitab Negara Kretagama, memberikan petunjuk penting tentang perkembangan dan signifikansi wilayah ini dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Surabaya, yang kini dikenal sebagai Kota Pahlawan, memiliki warisan sejarah yang kaya dan penuh makna, dari masa kejayaan Majapahit hingga menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan yang strategis di Nusantara.
Sumber :
https://id.wikisource.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama
No comments:
Post a Comment